MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA”
“NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA”
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Dr. H. A. Rusdiana, Drs. MM
Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Disusun oleh
:
1.
M. Yusuf S. N (1137030045)
2.
Nenden Tiara S (1137030050)
3.
Siti Nina Haryani (1137030065)
4.
Ahmad Zufi H (1147030003)
5.
Fakhrizal Muttaqien (1147030018)
PROGRAM
STUDI S1 FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT. Dengan rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Negara
Hukum dan Hak Asasi Manusia” Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk
perbaikan penulisan selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiinn.
perbaikan penulisan selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiinn.
Bandung, 12 November
2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah
negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu juga
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara
Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga
negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan
bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara
Indonesia menerapkan hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negara, sehingga hukum itu
bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya.
Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan
perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian
kekuasaan dalam negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan
terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap
konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga
negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah
satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang
tercantum dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Nyawa dan tubuh
adalah milik manusia yang paling berharga dan merupakan hak asasi setiap
manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada seorangpun yang
dapat merampasnya.
Setiap negara memiliki
kewajiban untuk menjamin dan menghormati hak asasi manusia, melindungi dan menegakkannya
di negara masing-masing. Kewajiban ini tidak saja bersifat positif yaitu untuk
ditegakkan atau diimpelementasikan. Dalam hal pengimpelementasian ini, terutama
terhadap hak-hak asasi yang bersifat universal dan memiliki keberlakuan
universal sebagaimana yang dirumuskan dalam deklarasi hak-hak asasi manusia.
Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia/DUHAM, HAM perlu dilindungi dengan merumuskannya dalam instrumen
hukum agar orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha
terakhir guna menentang kedzaliman dan penindasan sebagaimana ditunjukan dalam
sejarah HAM tersebut. (Kusniati, 2011)
1.
Mengetahui makna Indonesia sebagai negara hukum.
2.
Mengetahui prinsip-prinsip negara hukum.
3.
Menjelaskan hubungan negara hukum dengan HAM.
4.
Mendukung penegakkan
HAM di Indonesia.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui makna Indonesia sebagai negara hukum, mengetahui apa saja yang menjadi
prinsip-prinsip negara hukum dan mengetaui bagaimana hubungan negara hukum
dengan HAM, serta mengetahui bagaimana penegakkan HAM di Indonesia.
Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan
pada tunduknya
pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum. (Nasution, Negara Hukum dan Hak
Asasi Manusia) Istilah
negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule
of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat,
sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di
Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa
diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum”. (Winarno, 2007)
pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum.
Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan sejak
hampir satu abad yang lalu oleh para pendiri negara Republik Indonesia yaitu Dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo dkk. Cita – cita negara hukum yang demokratis telah lama
bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa
Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara hukum yang
demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis
dan bisa menyesatkan.
Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan Negara hukum.
Ketika para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei –1 Juni 1945
dan tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan
oleh para anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang tersebut dikemukakan istilah rechsstaat
(Negara Hukum) oleh Mr. Muhammad Yamin. Dalam sidang–sidang tersebut muncul
berbagai gagasan dan konsep alternatif tentang ketatanegaraan seperti: negara
sosialis, negara serikat dikemukakan oleh para pendiri negara. Perdebatan pun
dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad bersama untuk merdeka, jiwa
dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para pendiri negara,
menjunjung tinggi asas kepentingan bangsa, secara umum menerima konsep negara
hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dasar yuridis bagi negara Indonesia
sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945
(amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep negara hukum
mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi
manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi dasar
yuridis bagi keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material, yaitu pada:
Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan
bertanggungjawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Konsep negara hukum yang berkembang
pada abad 19 cenderung
mengarah pada konsep negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukum
dalam arti sempit. Dalam konsep ini negara hukum diposisikan ke dalam
ruang gerak dan peran yang kecil atau sempit. Negara hukum dikonsepsikan sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur-unsur lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku. Peran pemerintah sangat kecil dan pasif.
mengarah pada konsep negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukum
dalam arti sempit. Dalam konsep ini negara hukum diposisikan ke dalam
ruang gerak dan peran yang kecil atau sempit. Negara hukum dikonsepsikan sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur-unsur lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku. Peran pemerintah sangat kecil dan pasif.
Dalam dekade abad 20 konsep negara hukum mengarah pada pengembangan negara
hukum dalam arti material. Arah tujuannya memperluas peran pemerintah terkait
dengan tuntutan dan dinamika perkembangan jaman. Konsep negara hukum material
yang dikembangkan di abad ini sedikitnya memiliki sejumlah ciri yang melekat
pada negara hukum atau Rechtsstaat, yaitu sebagai berikut: (INDONESIA, 2012)
a. HAM terjamin
oleh undang-undang
b. Supremasi hukum
c. Pembagian
kekuasaan (Trias Politika) demi kepastian hukum
d. Kesamaan
kedudukan di depan hukum
e. Peradilan
administrasi dalam perselisihan
f.
Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan
berorganisasi
g. Pemilihan
umum yang bebas
h. Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak
Peraturan mengenai negara hukum dalam UUD 1945 ditempatkan
melalui Pasal 1 ayat (3), yang menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum. Setidaknya, terdapat dua makna besar yang dapat dipahami. Makna pertama adalah bahwa pemindahan ketentuan mengenai negara hukum ke
dalam bagian “Pasal-Pasal” menunjukkan adanya upaya penegasan terhadap konsep negara hukum bagi
Indonesia. Dengan pemindahan dimaksud ke dalam bagian “Pasal-Pasal”, maka diharapkan daya
ikat mengenai ketentuan negara hukum bagi Indonesia akan semakin kuat. Kedua, pemindahan dimaksud juga dapat
dimaknai sebagai upaya untuk
menegaskan
kembali bahwa bangsa Indonesia
secara
sungguh-sungguh akan melandaskan seluruh aktivitas kehidupan berbangsa dan
bernegara pada ketentuan hukum yang ada. Hukum akan menjadi panglima sekaligus rambu
pembatas bagi setiap tindakan pemerintah dan rakyat dalam mengelola bangsa dan
negara. (Simamora, 2014)
Langkah pengaturan ketentuan mengenai negara hukum dimaksud dengan
menghilangkan istilah rechtsstaat setidaknya mengandung dua konsekuensi
tersendiri yang saling bertolak belakang. Pertama, bentuk dan pola pengaturan yang
demikian akan memudahkan bangsa Indonesia dalam menerjemahkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan negara hukum
sesuai dengan
keinginan dan kehendak bangsa Indonesia. Dengan dihilangkannya istilah rechtsstaat, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
tidak terikat pada konsep negara hukum sesuai dengan syarat-syarat yang
dijalankan dalam
konsep
negara hukum dalam arti rechtsstaat. Konsekuensi pertama ini dapat
dikategorikan sebagai
konsekuensi yang bersifat negatif. Konsekuensi kedua dari penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD adalah bahwa negara hukum
yang dimaksud dalam UUD menjadi sulit untuk ditafsirkan secara konkret, apakah
negara hukum dalam arti rule
of law atau negara hukum dalam arti rechtsstaat atau kedua-duanya. Konsekuensi kedua
ini barangkali lebih tepat disebut sebagai konsekuensi yang bersifat negatif.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah sesungguhnya makna dari negara
hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945. Apakah
negara hukum dalam arti rechtsstaat
atau negara hukum dalam pemaknaan the
rule of law, ataukah ada makna lain yang tidak termasuk ke dalam dua
aliran utama negara hukum itu. Persoalan ini masih menjadi bahan perdebatan
banyak pihak, khususnya para pegiat Hukum Tata Negara di tanah air.
Harus diakui bahwa penegasan negara hukum Indonesia menurut
UUD NRI Tahun 1945
tidak
harus dilihat sebagai suatu bangunan yang final, tetapi merupakan suatu
bangunan yang secara terus
menerus harus dibenahi untuk
mencapai
Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya, perlu dipertimbangkan sejauh mana
harmonisasi hubungan hukum adat dan hukum nasional dalam proses membangun
negara hukum Indonesia.
Namun demikian, bersamaan dengan menjalankan roda pembangunan hukum ditanah
air, haruslah dimaknai setiap perubahan yang terkandung dalam konstitusi secara
jelas dan tegas,
agar kemudian dalam implementasinya tidak menimbulkan persoalan. Rujukan yang paling tepat dijadikan
sebagai landasan berpikir dalam rangka menjawab tafsir makna negara hukum dalam
perspektif UUD NKRI
Tahun 1945 adalah dengan memahami
kembali
secara utuh substansi pembukaan UUD
itu
sendiri, khususnya alinea keempat. Adapun bunyi alinea keempat Pembukaan UUD
1945 adalah
sebagai berikut:
(Maladi, 2010)
“Kemudian
daripada itu untuk membentuk
suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi
segenap bangsa Indonesia dan
seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian
abadi
dan keadilan sosial, maka disusun lah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dilihat
dari substansi ketentuan dimaksud, cukup jelas dan tegas disebutkan bahwa
pemerintah negara Indonesia dibentuk dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuannya kemudian adalah dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta dalam upaya
pelaksanaan ketertiban dunia yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Adapun pelaksanaan
roda pemerintahan dan dan negara
Republik
Indonesia harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dengan menempatkan frasa ‘memajukan
kesejahteraan umum’ adalah merupakan salah satu cita negara Republik Indonesia dan
merupakan cikal bakal
munculnya konsepsi negara kesejahteraan di Indonesia.
Bunyi
kalimat terakhir ini adalah merupakan isi dari apa yang dinamakan dengan
istilah Pancasila. Mendasarkan pada ketentuan dimaksud, maka dapat dipahami
kemudian bahwa negara hukum
yang dimaksud dalam UUD
NKRI
Tahun 1945 adalah negara hukum yang pelaksanaannya mendasarkan pada upaya
pemenuhan seluruh ketentuan yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945. Oleh karena itulah, maka kemudian negara hukum dalam versi UUD NKRI Tahun 1945 dapat
dimaknai sebagai negara hukum Pancasila dan memiliki unsur-unsur utama sebagai
berikut: (Prasetyo, 2012) Pertama, negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua,
pemerintahan yang didasarkan
pada
hukum; ketiga, penguatan
prinsip demokrasi dalam memilih para pemimpin; keempat, adanya pembatasan kekuasaan
pemerintahan dengan
mengedepankan prinsip checks
and balances; kelima, prinsip
persamaan di depan hukum (equality before the law); keenam, diakuinya kekuasaan kehakiman yang
merdeka dalam menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan
hukum
dan keadilan; ketujuh, adanya
peradilan tata negara
dan peradilan tata usaha negara;
dan
kedelapan, adanya
pengakuan dan perlindngan terhadap hak-hak dasar atau hak asasi manusia; serta kesembilan, adanya upaya untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfarestate).
Secara umum masyarakat merasa telah merdeka dalam menyatakan pendapat dan keinginan. Kemerdekaan serupa dirasakan dalam keikutsertaan secara aktif pada organisasi social dan politik. Dalam artian tertentu fakta ini bisa diartikan sebagai efektivitas implementasi sebagian peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Namun, studi dokumen juga mengungkapkan bahwa pada saat yang sama masih terdapat sejumlah peraturan perundangan yang bersifat membatasi hak menyatakan pendapat. Secara umum masyarakat juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapatkan perlindungan dari Negara terutama saat meliput atau menyajikan berita.
Secara umum masyarakat merasa telah merdeka dalam menyatakan pendapat dan keinginan. Kemerdekaan serupa dirasakan dalam keikutsertaan secara aktif pada organisasi social dan politik. Dalam artian tertentu fakta ini bisa diartikan sebagai efektivitas implementasi sebagian peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Namun, studi dokumen juga mengungkapkan bahwa pada saat yang sama masih terdapat sejumlah peraturan perundangan yang bersifat membatasi hak menyatakan pendapat. Secara umum masyarakat juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapatkan perlindungan dari Negara terutama saat meliput atau menyajikan berita.
Selanjutnya bukti
yuridis atas keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material diatas harus dimaknai bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum
dinamis, atau negara kesejahteraan (welfare state), yang membawa implikasi bagi para penyelenggara negara
untuk menjalankan tugas dan wewenangnya
secara luas dan komprehensif dilandasi ide-ide kreatif dan inovatif. Makna
negara Indonesia sebagai negara hukum dinamis, esensinya adalah hukum nasional Indonesia harus
tampil akomodatif, adaptif dan progresif.
Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang dinamis. Makna hukum
seperti ini menggambarkan fungsinya
sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Adaptif, artinya mampu menyesuaikan dinamika perkembangan jaman,
sehingga tidak pernah usang. Progresif,
artinya selalu berorientasi kemajuan, perspektif masa depan. Makna hukum seperti ini menggambarkan
kemampuan hukum nasional untuk tampil
dalam praktiknya mencairkan kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum dapat menciptakan kebenaran yang berkeadilan
bagi setiap anggota masyarakat.
Indonesia
Legal Rountable menjelaskan, bahwa setidaknya terdapat lima prinsip
dan indikator negara hukum, (Rountable, 2013) diantaranya:
1.
Pemerintahan berdasarkan hukum, dengan indikator
adanya keseimbangan
di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta performa eksekutif dan legislatif.
2.
Independensi kekuasaan kehakiman,
dengan indikator pelaksana dan organisasi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
3.
Penghormatan, pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia, dengan indikator kebebasan untuk berserikat,
berkumpul serta menyatakan pendapat kebebasan beragam dan berkeyakinan,
perlakuan yang tidak
diskriminatif, hak untuk hidup dan
bebas
dari penyiksaan, hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan.
4.
Akses terhadap keadilan, dengan
indikator peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan, bantuan hukum kepada warga yang tidak
mampu, perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang dinyatakan
bersalah secara
keliru.
5. Peraturan yang
terbuka dan jelas, dengan indikator mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan, kejelasan materi
peraturan dan akses terhadap peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Sejak
dahulu suara-suara atau perlawanan-perlawanan terhadap diskriminasi, marginalisasi dan
represi terdapat dihampir semua kebudayaan di muka bumi ini. Aspirasi semua
orang untuk dilindungi dari pengalaman-pengalaman ketidakadilan seperti itu dewasa ini
telah dirumuskan dalam Hak-hak Asasi
Manusia. (Hardiman, 2011)
Pengertian hak asasi manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang
dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. serta menurut
kodratnya pula sama-sama
bebas
dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan tidak ada seorang pun yang dapat
mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya.
Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian ini merupakan pemahaman yang
sangat umum dengan tanpa membedakan secara akademik hak-hak yang dimaksud serta
tanpa mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut.
Ada berbagai versi definisi mengenai HAM. Setiap definisi menekankan pada
segi-segi tertentu dari HAM. Adapun beberapa definisi Hak Asasi Manusia (HAM) (Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern,, 1999)
adalah sebagai berikut:
a.
UU Nomor 39
Tahun 1999
Menurut
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
b.
John Locke
Hak asasi
adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat
kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci.
c.
David Beetham
dan Kevin Boyle
Hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang
berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.
d.
de Rover
Hak asasi
manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hakhak
tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin,
laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi
tidak pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa
hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia dilindungi oleh konstitusi
dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak
dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat
universal dan abadi.
e.
Austin-Ranney
Hak asasi
manusia adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam
konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
f.
A.J.M. Milne
Hak asasi
manusia adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di
segala tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia.
g.
Frans
Magnis-Suseno
Hak asasi
manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.
h.
Miriam
Budiardjo
Miriam
Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam masyarakat.
Substansi
utama hak asasi manusia adalah kebebasan dan hak atas privasi.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang untuk menentukan
pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia, terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata bebas atau kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang untuk menentukan
pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia, terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata bebas atau kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.
Hal ini
didasarkan bahwa keinginan manusia untuk hidup bebas, merupakan
keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut kodratnya sama-sam
bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan
tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya.(Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, 1999)
keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut kodratnya sama-sam
bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan
tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya.
Berdasarkan
“kebebasan” inilah yang menjadi dasar pemaknaan HAM. Menurut sejarah politik Barat, semua
deklarasi HAM mencantumkan subjek hokum (rechtsubject) yang sangat umum, yaitu “manusia”,
“setiap manusia”, “tak
seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas dari perbedaan-perbedaan internal
dari manusia-manusia yang konkret misalnya ditentukan oleh agama, bahasa,
jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang merupakan pencerminan dari pengertian
HAM secara universal yang mana manusia itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar
yang sama, karenanya juga memiliki hak-hak yang sama.
seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas dari perbedaan-perbedaan internal
dari manusia-manusia yang konkret misalnya ditentukan oleh agama, bahasa,
jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang merupakan pencerminan dari pengertian
HAM secara universal yang mana manusia itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar
yang sama, karenanya juga memiliki hak-hak yang sama.
Untuk bangsa
multikulturalisme seperti Indonesia pemaknaan tentang HAM ada dalam UU. No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 poin (1).
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pemaknaan HAM
di Indonesia sesuai dengan tujuan negara hukum yang mana dalam ciri rechtsstaat salah satunya adalah diakui dan
dilindungi hak-hak rakyat
oleh
negara hukum, sebab sebagaimana menurut Russell kebebasan manusia tidak mungkin dapat dijamin sepenuhnya bila tidak ada sesuatu yang
digunakan untuk mengatur kebebasan itu. (Nasution, Negara Hukum dan Hak
Asasi Manusia, 2013)
Indonesia merupakan negara
berdasarkan atas Rechtsstaat bukan Machtstaat yang arti dalam paham negara hukum jaminan
hak asasi manusia dianggap sebagai ciri mutlak harus ada di setiap negara
yang disebut Rechtsstaat. Bahkan,
dalam
perkembangan selanjutnya jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga
diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi
tertulis negara demokrasi. Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya,
seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta
mekanisme hubungan antar lembaga negara.(Jimly Assihiddiqie, 2006)
perkembangan selanjutnya jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga
diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi
tertulis negara demokrasi. Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya,
seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta
mekanisme hubungan antar lembaga negara.
Pada mulanya, dalam rancangan naskah
UUD Tahun1945 yang dibahas dalam
sidang
BPUPKI pada Tahun 1945 tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai HAM. Sebabnya bahwa para penyusun
Rancangan UUD sependapat bahwa UUD
yang
hendak disusun haruslah berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yang sama sekali menentang Paham
liberalisme dan Individualisme. Pemahaman demikian itulah yang kemudian
mendasari pandangan filosofi penyusunan UUD Tahun 1945 yang juga mempengaruhi
perumusan pasal-pasal HAM. Akan tetapi, meskipun menyetujui prinsip
kekeluargaan dan menentang individualisme serta liberalisme, namun tokoh lain seperti
Muh. Hatta dan Muh. Yamin memandang
perlu
untuk memasukan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke dalam UUD Tahun 1945, dalam rangka
mencegah timbul negara machtsstaat.
Berdasarkan penjelasan diatas,
jelaslah bahwa di kalangan the
Founding Fathers
memang terdapat perbedaan pandangan yang sangat prinsipil satu sama lain.
Oleh karena itu,
sebagai komprominya ketentuan UUD Tahun 1945 yang berkenaan dengan HAM dapat dikatakan hanya memuat
secara terbatas, yaitu sebanyak tujuh pasal saja. Sedikitnya pasal terkait
HAM dikarenakan pada saat UUD Tahun 1945 disusun, beberapa anggota Panitia
berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang bersumber pada
individualisme dan liberalisme, sehingga bertentang dengan asas kekeluargaan
yang dianut oleh Bangsa Indonesia.
Padahal dapat dibuktikan bahwa sejarah pekembangan HAM, menuliskan hak-hak
asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan
oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara
penguasa dan rakyat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.
Padahal dapat dibuktikan bahwa sejarah pekembangan HAM, menuliskan hak-hak
asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan
oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara
penguasa dan rakyat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya UUD
Tahun 1945 sebelum pasca mandemen
memuat
tujuh pasal yang berkaitan dengan HAM. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu
(Asshiddiqie, 2010) adalah:
1.
Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
2.
Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3.
Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
4.
Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”
5.
Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.”
6.
Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.”
mendapatkan pengajaran.”
7.
Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.”
dipelihara oleh negara.”
Dari beberapa pasal diatas jika
diperhatikan sungguh-sungguh hanya satu
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
hak asasi manusia, yaitu pasal 29 ayat (2). Sementara itu, ketentuan-ketentuan
yang lain sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya
ketentuan mengenai hak warga negara atau yang biasa disebut the citizens’
constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang
yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin.
Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk tanpa membedakan status
kewarganegaraanya adalah pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan pasal
28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi pasal 28 belum
meberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas sebab masih akn
diatur lebih lanjut dan masih akan ditetapkan dalam UU. Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 30
ayat (1), pasal 31 ayat (1) dan pasal 34, semuanya berkenaan baik dengan hak
konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga
negara asing. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan
dengan HAM adalah Pasal 29 ayat (2).
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
hak asasi manusia, yaitu pasal 29 ayat (2). Sementara itu, ketentuan-ketentuan
yang lain sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya
ketentuan mengenai hak warga negara atau yang biasa disebut the citizens’
constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang
yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin.
Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk tanpa membedakan status
kewarganegaraanya adalah pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan pasal
28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi pasal 28 belum
meberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas sebab masih akn
diatur lebih lanjut dan masih akan ditetapkan dalam UU. Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 30
ayat (1), pasal 31 ayat (1) dan pasal 34, semuanya berkenaan baik dengan hak
konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga
negara asing. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan
dengan HAM adalah Pasal 29 ayat (2).
Pasal 29 ayat (2) sendiri sebenarnya
tidak mengacu pada pengertian-pengertian
HAM yang lazim diperbincangkan. Melainkan sebagai hasil kompromi akibat
dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berasal dari
rumusan Piagam Jakarta.
HAM yang lazim diperbincangkan. Melainkan sebagai hasil kompromi akibat
dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berasal dari
rumusan Piagam Jakarta.
Melihat kembali pada ketentuan pasal
29 ayat (2), didalamnya terdapat
pemaknaan terkait kebebasan agama dan beragama. Hak kebebasan beragama ini
dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (Asshiddiqie, 2010)
pemaknaan terkait kebebasan agama dan beragama. Hak kebebasan beragama ini
dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut:
“(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan
dan beragama”.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,
baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah,
ketaatan, pengamalan dan pengajaran;
“(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa
sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.”
Artinya, perihal kebenaran yang
diyakini oleh masing-masing umat beragama lainnya, negara juga tidak berhak
campur tangan. Apa yang secara ekslusif benar menurut umat agama tertentu biarlah
menjadi urusan umat agama itu
sendiri.
Terkait penjaminan terhadap kepercayaan sebab di semua agama selalu
terdapat jalur keyakinan yang tidak tunggal. Maka posisi negara terhadap
perbedaan keyakinan (madhab, sekte, aliran, dst.) juga harus sama, adil,
proposional, tidak diskriminatif dan mengayomi semuanya. (Farid, 2010) Bentuk teramat pentingnya hak dalam menjalankan
kebebasan agama dan beragama ini sehingga hak tersebut merupakan hak yang tidak
dapat di derogasi dalam keadaan
apapun.(Rhona K.M. Smith, 2008)
terdapat jalur keyakinan yang tidak tunggal. Maka posisi negara terhadap
perbedaan keyakinan (madhab, sekte, aliran, dst.) juga harus sama, adil,
proposional, tidak diskriminatif dan mengayomi semuanya.
apapun.
Sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya, pada masa sebelum Amandemen UUD Tahun 1945, pengaturan tentang HAM
didalam konstitusi sangatlah terbatas,
bahkan yang mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat (2). Namun, setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde baru.
Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil
amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3), dan (4), pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), dan pasal 28 J ayat (1) dan (2).
bahkan yang mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat (2). Namun, setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde baru.
Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil
amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3), dan (4), pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), dan pasal 28 J ayat (1) dan (2).
Pengaturan pada BAB XA tentang HAM
merupakan pencerminan dari HAM
bukan
Hak Konstitusional Negara, sebab subjek hukumnya adalah “setiap orang” artinya
bukan hanya warga negara yang mendapatkan hak konstitusional melainkan setiap orang tanpa ada
pembatasan.
HAM
dan Negara Hukum mempunyai kaitan yang amat erat, tanpa kita sadari HAM dan
negara hukum adalah dua sisi mata uang yang berbeda, keduanya memang berbeda
namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. (Ayu, 2016)
Adanya
keterkaitan yang jelas antara negara hukum dengan hak asasi
manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Prof Paul Scholten,
elemen pertama suatu negara disebut negara hukum berarti adanya pembatasan
kekuasaan yang berlandaskan hukum. Dengan demikian berarti terdapatnya asas
legalitas dari negara hukum. Pelangaran terhadap hak – hak individu hanya dapat
dilakukan, apabila diperkenankan oleh peraturan peraturan hukum. Tiap tindakan
negara harus selalu berdasarkan hukum peraturan perundang – undangan yang
telah ada terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.
manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Prof Paul Scholten,
elemen pertama suatu negara disebut negara hukum berarti adanya pembatasan
kekuasaan yang berlandaskan hukum. Dengan demikian berarti terdapatnya asas
legalitas dari negara hukum. Pelangaran terhadap hak – hak individu hanya dapat
dilakukan, apabila diperkenankan oleh peraturan peraturan hukum. Tiap tindakan
negara harus selalu berdasarkan hukum peraturan perundang – undangan yang
telah ada terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.
Hak hak
individu terhadap negara sebagai mana tercermin keseluruhan
dalam hak – hak asasi manusia yang telah diumumkan secara resmi dalam
pernyataan sedunia tentang hak hak asasi manuasia tanggal 10 desember 1948 di
istana Chailot, Paris, merupakan gambaran cerah terselengaranya jaminan
perlindungan bagi hak – hak warga negara yang diakui negara.(Naning, 1983)
dalam hak – hak asasi manusia yang telah diumumkan secara resmi dalam
pernyataan sedunia tentang hak hak asasi manuasia tanggal 10 desember 1948 di
istana Chailot, Paris, merupakan gambaran cerah terselengaranya jaminan
perlindungan bagi hak – hak warga negara yang diakui negara.
Hak tersebut
berarti : hak yang melekat pada martabat manusia yang
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa. Atau hak – hak
dasar yang prinsip sebagai anugrah ilahi. Berarti hak asasi manusia merupakan
hak – hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan
dari hakekatnya. Karena itu hak – hak asasi manusia bersifat luhur dan suci.
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa. Atau hak – hak
dasar yang prinsip sebagai anugrah ilahi. Berarti hak asasi manusia merupakan
hak – hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan
dari hakekatnya. Karena itu hak – hak asasi manusia bersifat luhur dan suci.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih buruk dalam
upaya penegakkan HAM-nya. Perlindungan HAM di Indonesia harus didasarkan pada
prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak
pembangunan, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam penerapan,
pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. (Wirajuda, 2005)
Hal ini sesuai dengan
isi Piagam PBB yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan 56 yang berisi bahwa upaya pemajuan
dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu konsep kerja sama
internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan,
dan hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku.
Sesuai dengan amanat konstitusi, Hak Asasi Manusia di
Indonesia didasarkan pada Konstitusi NKRI, (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”) yaitu:
1.
Pembukaan UUD 1945 (alinea 1)
2.
Pancasila sila keempat
3.
Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 27, 29,
dan 30)
4.
UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU
Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Hak asasi di Indonesia menjamin hak untuk hidup, hak
berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak
turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Program penegakan
hukum dan HAM (PP Nomor 7 Tahun 2005), meliputi pemberantasan korupsi,
antiterorisme, dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh
sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak
diskriminatif, dan konsisten.
Kegiatan-kegiatan pokok penegakan HAM (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”) meliputi:
1.
Penguatan upaya-upaya pemberantasan
korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pembeantasan Korupsi Tahun
2004-2009.
2.
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) dari tahun 2004-2009 sebagai gerakan nasional.
3.
Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan
tindak pidana
terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
4.
Peningkatan efektivitas dan penguatan
lembaga/institusi hukum maupun
lembaga
yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi.
5.
Peningkatan efektivitas dan penguatan
lembaga/institusi hukum maupun
lembaga
yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
6.
Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap
setiap warga negara di
depan
hukum melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak
asasi manusia secara konsisten dan
konsekuen.
7.
Penyelenggaraan audit regular atas seluruh kekayaan
pejabat pemerintah dan
pejabat
negara.
8.
Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar
dalam rangka mewujudkan
proses hukum yang lebih sederhana, cepat, tepat, dan dengan biaya yang terjangkau oleh semua
lapisan masyarakat.
9.
Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan
hukum dan hak asasi
manusia
dalam rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika masyarakat dapat berjalan sewajarnya.
10. Pembenahan
sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik, pengembangan sistem
pengawasan yang transparan dan akuntabel.
11. Pengembangan
sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
12. Penyelamatan
barang bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip lembaga negara dan badan pemerintahan
untuk mendukung penegakan hokum
dan
HAM.
13. Peningkatan
koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas penegakan hukum dan HAM
14. Pembaharuan
materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
15. Peningkatan
pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan
perjalanan baik ke luar maupun masuk ke wilayah Indonesia.
perjalanan baik ke luar maupun masuk ke wilayah Indonesia.
16. Peningkatan
fungsi intelijen agar aktivitas terorisme dapat dicegah pada tahap yang sangat dini, serta meningkatkan
berbagai operasi keamanan dan
ketertiban.
17. Peningkatan
penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya melalui
identifikasi dan memutus jaringan
peredarannya,
meningkatkan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta menghukum para pengedarnya secara
maksimal.
Penegakan HAM dilakukan terhadap setiap pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM
adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja,
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Untuk mengatasi masalah penegakan HAM, maka dalam Bab VII Pasal 75 UU tentang HAM, negara membentuk Komisi Hak Asasi Manusia atau KOMNAS HAM, dan Bab IX Pasal 104 tentang Pengadilan HAM, serta peran serta masyarakat seperti dikemukakan dalam Bab XIII pasal 100-103.
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Untuk mengatasi masalah penegakan HAM, maka dalam Bab VII Pasal 75 UU tentang HAM, negara membentuk Komisi Hak Asasi Manusia atau KOMNAS HAM, dan Bab IX Pasal 104 tentang Pengadilan HAM, serta peran serta masyarakat seperti dikemukakan dalam Bab XIII pasal 100-103.
1)
Komnas HAM
Komnas HAM adalah lembaga
yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
·
Tujuan Komnas HAM (Pasaribu,
“Bab 4 Hak Asasi Manusia”) antara lain:
1.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2.
Meningkatkan perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia guna
berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan
·
Wewenang Komnas HAM (Pasaribu,
“Bab 4 Hak Asasi Manusia”) :
1.
Wewenang dalam bidang pengkajian
penelitian
Ø
Pengkajian dan penelitian berbagai
instrument internasional hak asasi
manusia
dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau
ratifikasi
Ø
Pengkajian dan penelitian berbagai
peraturan perundang-undangan untuk
memberikan
rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
Ø
Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian
Ø
Studi kepustakaan, studi lapangan, dan
studi banding di negara lain
mengenai
hak asasi manusia
Ø
Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan
dengan perlindungan, penegakan
dan pemajuan hak asasi manusia
Ø
Kerja sama pengkajian dan penelitian
dengan organisasi, lembaga atau
pihak
lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi
manusia.
2.
Wewenang dalam bidang penyuluhan (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia, 2015) :
Ø
Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia
kepada masyarakatIndonesia;
Ø
Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak
asasi manusia melalui lembaga
pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya;
Ø
Kerja sama dengan organisasi, lembaga, atau pihak
lainnya, baik di tingkat
nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3.
Wewenang dalam pemantauan (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia,
2015) :
Ø Pengamatan
pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut
Ø Penyelidikan
dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat
atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan
untuk dimintai dan didengar
keterangannya
Ø Pemanggilan
saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan
Ø Peninjauan di
tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
Ø Pemanggilan
terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan
Ø Pemeriksaan
setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu dengan
persetujuan
ketua pengadilan
Ø
Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua
pengadilan terhadap
perkara
tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran
hak asasi manusia dalam masalah
publik;
dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudan pendapat
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4.
Wewenang dalam bidang mediasi (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia, 2015) :
Ø Perdamaian
kedua belah pihak
Ø Penyelesaian
perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli
Ø Pemberian
saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan
Ø Penyampaian
rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya
Ø Penyampaian
rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk
ditindaklanjuti.
2) Pengadilan
HAM
Dalam rangka penegakan HAM, maka Komnas HAM melakukan
pemanggilan saksi, dan pihak kejaksaan yang melakukan penuntutan
di pengadilan HAM. Menurut Pasal 104 UU HAM, untuk mengadili pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan
peradilan umum, yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Proses
pengadilan berjalan sesuai fungsi badan peradilan.
3) Partisipasi
Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM diatur
dalam Pasal 100-103 UU tentang HAM. Partisipasi masyarakat dapat berbentuk
sebagai berikut:
1.
Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisispasi
dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
2.
Masyarakat
juga berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam
rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
3.
Masyarakat
berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain.
4.
Masyarakat dapat
bekerja sama dengan Komnas HAM melakukan penelitian, pendidikan,
dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Terdapat dua makna
besar yang dapat dipahami. bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum, Makna pertama adalah bahwa pemindahan ketentuan
mengenai negara hukum ke dalam bagian “Pasal-Pasal” menunjukkan adanya upaya
penegasan terhadap konsep negara hukum bagi Indonesia. Kedua, pemindahan
dimaksud juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menegaskan kembali bahwa
bangsa Indonesia secara sungguh-sungguh akan melandaskan seluruh aktivitas
kehidupan berbangsa dan bernegara pada ketentuan hukum yang ada.
Indonesia Legal
Rountable menjelaskan, bahwa setidaknya terdapat lima prinsip dan indikator
negara hokum, diantaranya: pemerintahan berdasarkan hukum, independensi
kekuasaan kehakiman, penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia, akses terhadap keadilan, dengan
indikator peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan, dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Adanya keterkaitan
yang jelas antara negara hukum dengan hak asasi manusia adalah seperti yang
dikemukakan oleh Prof Paul Scholten,
elemen pertama suatu negara disebut negara hukum berarti adanya
pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum.
Penegakan HAM
dilakukan terhadap setiap pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja
ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang.
Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ayu. (2016, Oktober
14). HAM dan Negara Hukum. Retrieved from http://ayu.b15on.com/ham/
Farid, M. (2010).
Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Hardiman, F. B.
(2011). Hak-Hak Asasi Manusia (Polemik dengan Agama dan Kebudayaan).
Yogyakarta: Kanisius.
INDONESIA, K. P.
(2012). RENCANA PEMBELAJARAN DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN. Jakarta.
Jimly Assihiddiqie,
I. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MK RI.
Kusniati, R. (2011).
Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi
Negara Hukum.
Maladi, Y. (2010).
“Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”. In V. 2.
Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.
Naning, R. (1983).
Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.
Nasution, B. J.
(2013). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Nasution, B. J.
(n.d.). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Op.cit.
Pasaribu, R. B.
(n.d.). “Bab 4 Hak Asasi Manusia”. hlm 7-15.
Pasaribu, R. B.
(2015). Bab 4 Hak Asasi Manusia. 7-11.
Prasetyo, K. F.
(2012). “Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State
di dalam Undang-Undang Dasar 1945”. In V. 9. Jurnal Konstitusi. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI.
Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S. (n.d.). GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA. 1-2.
Purnomo, B. G.
(2013, Mei 27). PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIA. Retrieved September 24,
2016, from Purnama.blog: http://purnama-bgp.blogspot.co.id
Rhona K.M. Smith, d.
(2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusham UII.
Rountable, I. L.
(2013). Indonesia Legal Rountable. Jakarta: Indonesia Legal Rountable .
Sabu, H. S. (2015,
Mei 20). HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Retrieved
September 24, 2016, from HenSabu: http://henssabu.blogspot.co.id
Simamora, J. (2014).
TAFSIR MAKNA NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum,
10.
Suseno, F. M.
(1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, F. M.
(1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno. (2007).
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta.: Bumi
Aksara.
Wirajuda, H. (2005).
Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Vol. 34, No. 3.
Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ayu. (2016, Oktober
14). HAM dan Negara Hukum. Retrieved from http://ayu.b15on.com/ham/
Farid, M. (2010).
Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Hardiman, F. B.
(2011). Hak-Hak Asasi Manusia (Polemik dengan Agama dan Kebudayaan). Yogyakarta:
Kanisius.
INDONESIA, K. P.
(2012). RENCANA PEMBELAJARAN DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN. Jakarta.
Jimly Assihiddiqie,
I. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MK RI.
Kusniati, R. (2011).
Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi
Negara Hukum.
Maladi, Y. (2010).
“Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”. In V. 2.
Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.
Naning, R. (1983).
Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.
Nasution, B. J.
(2013). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Nasution, B. J.
(n.d.). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Op.cit.
Pasaribu, R. B.
(n.d.). “Bab 4 Hak Asasi Manusia”. hlm 7-15.
Pasaribu, R. B.
(2015). Bab 4 Hak Asasi Manusia. 7-11.
Prasetyo, K. F.
(2012). “Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State
di dalam Undang-Undang Dasar 1945”. In V. 9. Jurnal Konstitusi. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI.
Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S. (n.d.). GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA. 1-2.
Purnomo, B. G.
(2013, Mei 27). PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIA. Retrieved September 24,
2016, from Purnama.blog: http://purnama-bgp.blogspot.co.id
Rhona K.M. Smith, d.
(2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusham UII.
Rountable, I. L.
(2013). Indonesia Legal Rountable. Jakarta: Indonesia Legal Rountable .
Sabu, H. S. (2015,
Mei 20). HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Retrieved
September 24, 2016, from HenSabu: http://henssabu.blogspot.co.id
Simamora, J. (2014).
TAFSIR MAKNA NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum,
10.
Suseno, F. M.
(1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, F. M.
(1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno. (2007).
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta.: Bumi
Aksara.
Wirajuda, H. (2005).
Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Vol. 34, No. 3.
TANYA JAWAB
KLP
1
Dasar
yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat
(3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum” dari pernyataan diatas konsep seperti apa yang melatarbelakangi kalimat
yang dalam tamda kutip?
Jawab: Konsep negara hukum mengarah pada
tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi manusia,
serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi dasar yuridis
bagi keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV
Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan
bertanggungjawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
KLP
2
Apa
saja yang dilakukan oleh lembaga penegak HAM dalam menegakkan HAM?
Jawab:
Kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga penegak HAM, diantanranya:
18.
Penguatan upaya-upaya pemberantasan
korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pembeantasan Korupsi Tahun
2004-2009.
19.
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) dari tahun 2004-2009 sebagai gerakan nasional.
20.
Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan
tindak pidana terorisme dan
penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
21.
Peningkatan efektivitas dan penguatan
lembaga/institusi hukum maupun lembaga
yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi.
22.
Peningkatan efektivitas dan penguatan
lembaga/institusi hukum maupun lembaga
yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
23.
Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap
setiap warga negara di depan hukum
melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten
dan konsekuen.
24.
Penyelenggaraan audit regular atas
seluruh kekayaan pejabat pemerintah dan pejabat negara.
KLP
3
Mengapa
NKRI Tahun 1945 dapat dimaknai sebagai negara hukum Pancasila?
Jawab:
Karena negara hukum yang pelaksanaannya mendasarkan
pada upaya pemenuhan seluruh ketentuan yang tertuang dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Pancasila dan memiliki unsur-unsur utama sebagai berikut.
Pertama, negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua,
pemerintahan yang didasarkan pada hukum; ketiga, penguatan prinsip
demokrasi dalam memilih para pemimpin; keempat, adanya pembatasan
kekuasaan pemerintahan dengan mengedepankan prinsip checks and balances;
kelima, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law);
keenam, diakuinya kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ketujuh,
adanya peradilan tata negara dan peradilan tata usaha negara; dan kedelapan,
adanya pengakuan dan perlindngan terhadap hak-hak dasar atau hak asasi manusia;
serta kesembilan, adanya upaya untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfarestate).
KLP
4
Mengapa
Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan pada tunduknya pemegang
kekuasaan negara pada aturan hukum? Apa yang melatarbekangi negara tersebut?
Jawab
: Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat
atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan
istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule
of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa
diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum”. Gagasan negara hukum di Indonesia
yang demokratis telah dikemukakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia
(Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan) sejak hampir satu abad yang lalu.
Cita – cita negara hukum yang demokratis telah lama bersemi dan berkembang
dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada
pendapat yang mengatakan cita negara hukum yang demokratis pertama kali
dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis dan bisa menyesatkan
KLP
5
Substansi
utama hak asasi manusia adalah kebebasan dan hak atas privasi. Maksud kebebasan
dan hak privasi itu seperti apa?
Jawab : Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang
untuk menentukan pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia,
terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata
bebas atau kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.
Hal ini didasarkan bahwa keinginan manusia untuk hidup
bebas, merupakan keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut
kodratnya sama-sam bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk
diperbudak dan tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin
darinya. 11
Berdasarkan “kebebasan” inilah yang
menjadi dasar pemaknaan HAM. Menurut sejarah politik Barat, semua deklarasi HAM
mencantumkan subjek hokum (rechtsubject) yang sangat umum, yaitu
“manusia”, “setiap manusia”, “tak seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas
dari perbedaan-perbedaan internal dari manusia-manusia yang konkret misalnya
ditentukan oleh agama, bahasa, jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang
merupakan pencerminan dari pengertian HAM secara universal yang mana manusia
itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar yang sama, karenanya juga memiliki
hak-hak yang sama.
KLP
7
Pada masa sebelum Amandemen UUD Tahun 1945,
pengaturan tentang HAM didalam konstitusi sangatlah terbatas, bahkan yang
mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat. alasan nya
seperti apa?
Jawab : setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde
baru. Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil
amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B
ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3),
dan (4), pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan
(2), pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4),
dan (5), dan pasal 28 J ayat (1) dan (2).
Pengaturan pada BAB XA tentang HAM
merupakan pencerminan dari HAM bukan Hak Konstitusional Negara, sebab subjek
hukumnya adalah “setiap orang” artinya bukan hanya warga negara yang
mendapatkan hak konstitusionalmelainkan setiap orang tanpa ada pembatasan
PENILAIAN KELOMPOK
Mata Kuliah : Pendidikan
Kewarganegaraan
Capaian Akhir
Mata Kuliah :.................................
Capaian yang diharapkan :......................................................................
Kelompok: VI /Kelas. B/Jur.
Fisika/Semester VII (tujuh.)/Th. Akademik 2016/2017
No
|
NIM
|
Nama
Mahasiaswa
|
Faraf
|
1
|
1137030045
|
M. Yusuf S. N
|
|
2
|
1137030050
|
Nenden Tiara S
|
|
3
|
1137030065
|
Siti Nina Haryani
|
|
4
|
1147030003
|
Ahmad Zufi H
|
|
5
|
1147030018
|
Fakhrizal Muttaqien
|
PENILAIAN
1.
Makalah
No
|
Aspek Penilaian
|
Skala Penilaian
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||||
1
|
Perumusan
masalah
|
|||||||
2
|
Pembahasan
masalah
|
|||||||
3
|
Kajian
teori
|
|||||||
4
|
Pemecahan
masalah
|
|||||||
5
|
Sistematika
pembahasan
|
|||||||
Jumlah Total
|
||||||||
Keterangan :
1 = Sangat tepat
2 =
Tepat
3 = Kurang tepat
4 =
Tidak tepat
|
N2
= Total nilai x 10
5
|
|||||||
2.
Presentasi dan Dikusi Hari/Tgl.
…………/……………..
No
|
Aspek Penilaian
|
Skala
Penilaian
|
|||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
||||||
1
|
Penyampaian ide
pokok makalah
|
||||||||
2
|
Penguasaan
materi
|
||||||||
3
|
Penggunaan media
|
||||||||
4
|
Menjawab
pertanyaan
|
||||||||
5
|
Kerja sama
kelompok
|
||||||||
Jumlah Total
|
|||||||||
Keterangan :
1 = Sangat
baik
2 = Baik
3 = Kurang
baik
4 = Tidak
baik
|
N3
= Total nilai x 10
5
|
Bandung, ………………...
Dosen,
Dr. H. A. Rusdiana, MM
NIP.
196104211986021001
|
|||||||