Minggu, 04 Desember 2016

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN “NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA”

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA”

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Dr. H. A. Rusdiana, Drs. MM
Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung


                                                                   Disusun oleh :
1.         M. Yusuf S. N (1137030045)
2.         Nenden Tiara S (1137030050)
3.         Siti Nina Haryani (1137030065)
4.         Ahmad Zufi H (1147030003)
5.         Fakhrizal Muttaqien (1147030018)

PROGRAM STUDI S1 FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016


KATA PENGANTAR


            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Dengan rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia” Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan penulisan selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiinn.


Bandung, 12 November 2016



Penulis





DAFTAR ISI










BAB I

PENDAHULUAN


Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang tercantum dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling berharga dan merupakan hak asasi setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada seorangpun yang dapat merampasnya.
Setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan menghormati hak asasi manusia, melindungi dan menegakkannya di negara masing-masing. Kewajiban ini tidak saja bersifat positif yaitu untuk ditegakkan atau diimpelementasikan. Dalam hal pengimpelementasian ini, terutama terhadap hak-hak asasi yang bersifat universal dan memiliki keberlakuan universal sebagaimana yang dirumuskan dalam deklarasi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM, HAM perlu dilindungi dengan merumuskannya dalam instrumen hukum agar orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kedzaliman dan penindasan sebagaimana ditunjukan dalam sejarah HAM tersebut. (Kusniati, 2011)

1.      Mengetahui makna Indonesia sebagai negara hukum.
2.      Mengetahui prinsip-prinsip negara hukum.
3.      Menjelaskan hubungan negara hukum dengan HAM.
4.      Mendukung penegakkan HAM di Indonesia.

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui makna Indonesia sebagai negara hukum, mengetahui apa saja yang menjadi prinsip-prinsip negara hukum dan mengetaui bagaimana hubungan negara hukum dengan HAM, serta mengetahui bagaimana penegakkan HAM di Indonesia.




Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan pada tunduknya
pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum. (Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum”. (Winarno, 2007)
Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan sejak hampir satu abad yang lalu oleh para pendiri negara Republik Indonesia yaitu Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dkk. Cita – cita negara hukum yang demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis dan bisa menyesatkan.
Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan Negara hukum. Ketika para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei –1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang tersebut dikemukakan istilah rechsstaat (Negara Hukum) oleh Mr. Muhammad Yamin. Dalam sidang–sidang tersebut muncul berbagai gagasan dan konsep alternatif tentang ketatanegaraan seperti: negara sosialis, negara serikat dikemukakan oleh para pendiri negara. Perdebatan pun dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad bersama untuk merdeka, jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para pendiri negara, menjunjung tinggi asas kepentingan bangsa, secara umum menerima konsep negara hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Konsep negara hukum yang berkembang pada abad 19 cenderung
mengarah pada konsep negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukum
dalam arti sempit. Dalam konsep ini negara hukum diposisikan ke dalam
ruang gerak dan peran yang kecil atau sempit.  Negara hukum dikonsepsikan sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur-unsur lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh hukum yang berlaku. Peran pemerintah sangat kecil dan pasif.
Dalam dekade abad 20 konsep negara hukum mengarah pada pengembangan negara hukum dalam arti material. Arah tujuannya memperluas peran pemerintah terkait dengan tuntutan dan dinamika perkembangan jaman. Konsep negara hukum material yang dikembangkan di abad ini sedikitnya memiliki sejumlah ciri yang melekat pada negara hukum atau Rechtsstaat, yaitu sebagai berikut: (INDONESIA, 2012)
a.       HAM terjamin oleh undang-undang
b.      Supremasi hukum
c.       Pembagian kekuasaan (Trias Politika) demi kepastian hukum
d.      Kesamaan kedudukan di depan hukum
e.       Peradilan administrasi dalam perselisihan
f.        Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan berorganisasi
g.      Pemilihan umum yang bebas
h.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak

Peraturan mengenai negara hukum dalam UUD 1945 ditempatkan melalui Pasal 1 ayat (3), yang menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Setidaknya, terdapat dua makna besar yang dapat dipahami.  Makna pertama adalah bahwa pemindahan ketentuan mengenai negara hukum ke dalam bagian “Pasal-Pasal” menunjukkan adanya upaya penegasan terhadap konsep negara hukum bagi Indonesia. Dengan pemindahan dimaksud ke dalam bagian “Pasal-Pasal”, maka diharapkan daya ikat mengenai ketentuan negara hukum bagi Indonesia akan semakin kuat. Kedua, pemindahan dimaksud juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menegaskan kembali bahwa bangsa Indonesia secara sungguh-sungguh akan melandaskan seluruh aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara pada ketentuan hukum yang ada. Hukum akan menjadi panglima sekaligus rambu pembatas bagi setiap tindakan pemerintah dan rakyat dalam mengelola bangsa dan negara. (Simamora, 2014)
Langkah pengaturan ketentuan mengenai negara hukum dimaksud dengan menghilangkan istilah rechtsstaat setidaknya mengandung dua konsekuensi tersendiri yang saling bertolak belakang. Pertama, bentuk dan pola pengaturan yang demikian akan memudahkan bangsa Indonesia dalam menerjemahkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan negara hukum sesuai dengan keinginan dan kehendak bangsa Indonesia. Dengan dihilangkannya istilah rechtsstaat, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak terikat pada konsep negara hukum sesuai dengan syarat-syarat yang dijalankan dalam konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat. Konsekuensi pertama ini dapat dikategorikan sebagai konsekuensi yang bersifat negatif. Konsekuensi kedua dari penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD adalah bahwa negara hukum yang dimaksud dalam UUD menjadi sulit untuk ditafsirkan secara konkret, apakah negara hukum dalam arti rule of law atau negara hukum dalam arti rechtsstaat atau kedua-duanya. Konsekuensi kedua ini barangkali lebih tepat disebut sebagai konsekuensi yang bersifat negatif. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah sesungguhnya makna dari negara hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945. Apakah negara hukum dalam arti rechtsstaat atau negara hukum dalam pemaknaan the rule of law, ataukah ada makna lain yang tidak termasuk ke dalam dua aliran utama negara hukum itu. Persoalan ini masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak, khususnya para pegiat Hukum Tata Negara di tanah air.
Harus diakui bahwa penegasan negara hukum Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945 tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan yang final, tetapi merupakan suatu bangunan yang secara terus menerus harus dibenahi untuk mencapai Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya, perlu dipertimbangkan sejauh mana harmonisasi hubungan hukum adat dan hukum nasional dalam proses membangun negara hukum Indonesia. Namun demikian, bersamaan dengan menjalankan roda pembangunan hukum ditanah air, haruslah dimaknai setiap perubahan yang terkandung dalam konstitusi secara jelas dan tegas, agar kemudian dalam implementasinya tidak menimbulkan persoalan. Rujukan yang paling tepat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam rangka menjawab tafsir makna negara hukum dalam perspektif UUD NKRI Tahun 1945 adalah dengan memahami kembali secara utuh substansi pembukaan UUD itu sendiri, khususnya alinea keempat. Adapun bunyi alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:  (Maladi, 2010)
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusun lah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dilihat dari substansi ketentuan dimaksud, cukup jelas dan tegas disebutkan bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuannya kemudian adalah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta dalam upaya pelaksanaan ketertiban dunia yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Adapun pelaksanaan roda pemerintahan dan dan negara Republik Indonesia harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dengan menempatkan frasa ‘memajukan kesejahteraan umum’ adalah merupakan salah satu cita negara Republik Indonesia dan merupakan cikal bakal munculnya konsepsi negara kesejahteraan di Indonesia.

Bunyi kalimat terakhir ini adalah merupakan isi dari apa yang dinamakan dengan istilah Pancasila. Mendasarkan pada ketentuan dimaksud, maka dapat dipahami kemudian bahwa negara hukum yang dimaksud dalam UUD NKRI Tahun 1945 adalah negara hukum yang pelaksanaannya mendasarkan pada upaya pemenuhan seluruh ketentuan yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itulah, maka kemudian negara hukum dalam versi UUD NKRI Tahun 1945 dapat dimaknai sebagai negara hukum Pancasila dan memiliki unsur-unsur utama sebagai berikut: (Prasetyo, 2012) Pertama, negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, pemerintahan yang didasarkan pada hukum; ketiga, penguatan prinsip demokrasi dalam memilih para pemimpin; keempat, adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan dengan mengedepankan prinsip checks and balances; kelima, prinsip persamaan di depan  hukum (equality before the law); keenam, diakuinya kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ketujuh, adanya peradilan tata negara dan peradilan tata usaha negara; dan kedelapan, adanya pengakuan dan perlindngan terhadap hak-hak dasar atau hak asasi manusia; serta kesembilan, adanya upaya untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfarestate).
            Secara umum masyarakat merasa telah merdeka dalam menyatakan pendapat dan keinginan. Kemerdekaan serupa dirasakan dalam keikutsertaan secara aktif pada organisasi social dan politik. Dalam artian tertentu fakta ini bisa diartikan sebagai efektivitas implementasi sebagian peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Namun, studi dokumen juga mengungkapkan bahwa pada saat yang sama masih terdapat sejumlah peraturan perundangan yang bersifat membatasi hak menyatakan pendapat. Secara umum masyarakat juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapatkan perlindungan dari Negara terutama saat meliput atau menyajikan berita.
Selanjutnya bukti yuridis atas keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material diatas harus dimaknai bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dinamis, atau negara kesejahteraan (welfare state), yang membawa implikasi bagi para penyelenggara negara untuk menjalankan tugas dan wewenangnya secara luas dan komprehensif dilandasi ide-ide kreatif dan inovatif. Makna negara Indonesia sebagai negara hukum dinamis, esensinya adalah hukum nasional Indonesia harus tampil akomodatif, adaptif dan progresif. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang dinamis. Makna hukum seperti ini menggambarkan fungsinya sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Adaptif, artinya mampu menyesuaikan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak pernah usang. Progresif, artinya selalu berorientasi kemajuan, perspektif masa depan. Makna hukum seperti ini menggambarkan kemampuan hukum nasional untuk tampil dalam praktiknya mencairkan kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum dapat menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi setiap anggota masyarakat.

Indonesia Legal Rountable menjelaskan, bahwa setidaknya terdapat lima prinsip dan indikator negara hukum, (Rountable, 2013) diantaranya:
1.      Pemerintahan berdasarkan hukum, dengan indikator adanya keseimbangan di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta performa eksekutif dan legislatif.
2.      Independensi kekuasaan kehakiman, dengan indikator pelaksana dan organisasi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
3.      Penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, dengan indikator kebebasan untuk berserikat, berkumpul serta menyatakan pendapat kebebasan beragam dan berkeyakinan, perlakuan yang tidak diskriminatif, hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan, hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan.
4.      Akses terhadap keadilan, dengan indikator peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan, bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu, perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang dinyatakan bersalah secara keliru.
5.      Peraturan yang terbuka dan jelas, dengan indikator mengikutsertakan publik dalam  pembuatan peraturan, kejelasan materi peraturan dan akses terhadap peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Sejak dahulu suara-suara atau perlawanan-perlawanan terhadap diskriminasi, marginalisasi dan represi terdapat dihampir semua kebudayaan di muka bumi ini. Aspirasi semua orang untuk dilindungi dari pengalaman-pengalaman ketidakadilan seperti itu dewasa ini telah dirumuskan dalam Hak-hak Asasi Manusia. (Hardiman, 2011)
Pengertian hak asasi manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. serta menurut kodratnya pula sama-sama bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya.
Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa membedakan secara akademik hak-hak yang dimaksud serta tanpa mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut.
Ada berbagai versi definisi mengenai HAM. Setiap definisi menekankan pada segi-segi tertentu dari HAM. Adapun beberapa definisi Hak Asasi Manusia (HAM) (Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,, 1999) adalah sebagai berikut:
a.       UU Nomor 39 Tahun 1999
Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b.      John Locke
Hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci.
c.       David Beetham dan Kevin Boyle
Hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.
d.      de Rover
Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hakhak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat universal dan abadi.
e.       Austin-Ranney
Hak asasi manusia adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
f.        A.J.M. Milne
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di segala tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia.
g.      Frans Magnis-Suseno
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.
h.      Miriam Budiardjo
Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.

Substansi utama hak asasi manusia adalah kebebasan dan hak atas privasi.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang untuk menentukan
pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia, terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata bebas atau kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.
Hal ini didasarkan bahwa keinginan manusia untuk hidup bebas, merupakan
keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut kodratnya sama-sam
bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan
tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya. (Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, 1999)
Berdasarkan “kebebasan” inilah yang menjadi dasar pemaknaan HAM. Menurut sejarah politik Barat, semua deklarasi HAM mencantumkan subjek hokum (rechtsubject) yang sangat umum, yaitu “manusia”, “setiap manusia”, “tak
seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas dari perbedaan-perbedaan internal
dari manusia-manusia yang konkret misalnya ditentukan oleh agama, bahasa,
jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang merupakan pencerminan dari pengertian
HAM secara universal yang mana manusia itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar
yang sama, karenanya juga memiliki hak-hak yang sama.
Untuk bangsa multikulturalisme seperti Indonesia pemaknaan tentang HAM ada dalam UU. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 poin (1).
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pemaknaan HAM di Indonesia sesuai dengan tujuan negara hukum yang mana dalam ciri rechtsstaat salah satunya adalah diakui dan dilindungi hak-hak rakyat oleh negara hukum, sebab sebagaimana menurut Russell kebebasan manusia tidak mungkin dapat dijamin sepenuhnya bila tidak ada sesuatu yang digunakan untuk mengatur kebebasan itu. (Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013)


Indonesia merupakan negara berdasarkan atas Rechtsstaat bukan Machtstaat yang arti dalam paham negara hukum jaminan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri mutlak harus ada di setiap negara yang disebut Rechtsstaat. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga
diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi
tertulis negara demokrasi. Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya,
seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta
mekanisme hubungan antar lembaga negara. (Jimly Assihiddiqie, 2006)
Pada mulanya, dalam rancangan naskah UUD Tahun1945 yang dibahas dalam sidang BPUPKI pada Tahun 1945 tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai HAM. Sebabnya bahwa para penyusun Rancangan UUD sependapat bahwa UUD yang hendak disusun haruslah berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yang sama sekali menentang Paham liberalisme dan Individualisme. Pemahaman demikian itulah yang kemudian mendasari pandangan filosofi penyusunan UUD Tahun 1945 yang juga mempengaruhi perumusan pasal-pasal HAM. Akan tetapi, meskipun menyetujui prinsip kekeluargaan dan menentang individualisme serta liberalisme, namun tokoh lain seperti Muh. Hatta dan Muh. Yamin memandang perlu untuk memasukan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke dalam UUD Tahun 1945, dalam rangka mencegah timbul negara machtsstaat.
Berdasarkan penjelasan diatas, jelaslah bahwa di kalangan the Founding Fathers memang terdapat perbedaan pandangan yang sangat prinsipil satu sama lain. Oleh karena itu, sebagai komprominya ketentuan UUD Tahun 1945 yang berkenaan dengan HAM dapat dikatakan hanya memuat secara terbatas, yaitu sebanyak tujuh pasal saja. Sedikitnya pasal terkait HAM dikarenakan pada saat UUD Tahun 1945 disusun, beberapa anggota Panitia berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang bersumber pada individualisme dan liberalisme, sehingga bertentang dengan asas kekeluargaan yang dianut oleh Bangsa Indonesia.
Padahal dapat dibuktikan bahwa sejarah pekembangan HAM, menuliskan hak-hak
asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan
oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara
penguasa dan rakyat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya UUD Tahun 1945 sebelum pasca mandemen memuat tujuh pasal yang berkaitan dengan HAM. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu (Asshiddiqie, 2010) adalah:
1.         Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
2.         Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3.         Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
4.         Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
5.         Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.”
6.         Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.”
7.         Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.”
Dari beberapa pasal diatas jika diperhatikan sungguh-sungguh hanya satu
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
hak asasi manusia, yaitu pasal 29 ayat (2). Sementara itu, ketentuan-ketentuan
yang lain sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya
ketentuan mengenai hak warga negara atau yang biasa disebut the citizens’
constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang
yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin.
Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk tanpa membedakan status
kewarganegaraanya adalah pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan pasal
28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi pasal 28 belum
meberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas sebab masih akn
diatur lebih lanjut dan masih akan ditetapkan dalam UU. Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 30
ayat (1), pasal 31 ayat (1) dan pasal 34, semuanya berkenaan baik dengan hak
konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga
negara asing. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan
dengan HAM adalah Pasal 29 ayat (2).
Pasal 29 ayat (2) sendiri sebenarnya tidak mengacu pada pengertian-pengertian
HAM yang lazim diperbincangkan. Melainkan sebagai hasil kompromi akibat
dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berasal dari
rumusan Piagam Jakarta.
Melihat kembali pada ketentuan pasal 29 ayat (2), didalamnya terdapat
pemaknaan terkait kebebasan agama dan beragama. Hak kebebasan beragama ini
dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (Asshiddiqie, 2010)
 “(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama”.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran;
“(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.”
Artinya, perihal kebenaran yang diyakini oleh masing-masing umat beragama lainnya, negara juga tidak berhak campur tangan. Apa yang secara ekslusif benar menurut umat agama tertentu biarlah menjadi urusan umat agama itu sendiri. Terkait penjaminan terhadap kepercayaan sebab di semua agama selalu
terdapat jalur keyakinan yang tidak tunggal. Maka posisi negara terhadap
perbedaan keyakinan (madhab, sekte, aliran, dst.) juga harus sama, adil,
proposional, tidak diskriminatif dan mengayomi semuanya. (Farid, 2010) Bentuk teramat pentingnya hak dalam menjalankan kebebasan agama dan beragama ini sehingga hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat di derogasi dalam keadaan
apapun. (Rhona K.M. Smith, 2008)
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pada masa sebelum Amandemen UUD Tahun 1945, pengaturan tentang HAM didalam konstitusi sangatlah terbatas,
bahkan yang mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat (2). Namun, setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde baru.
Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil
amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3), dan (4), pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), dan pasal 28 J ayat (1) dan (2).
Pengaturan pada BAB XA tentang HAM merupakan pencerminan dari HAM bukan Hak Konstitusional Negara, sebab subjek hukumnya adalah “setiap orang” artinya bukan hanya warga negara yang mendapatkan hak konstitusional melainkan setiap orang tanpa ada pembatasan.

HAM dan Negara Hukum mempunyai kaitan yang amat erat, tanpa kita sadari HAM dan negara hukum adalah dua sisi mata uang yang berbeda, keduanya memang berbeda namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. (Ayu, 2016)
Adanya keterkaitan yang jelas antara negara hukum dengan hak asasi
manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Prof Paul Scholten,
elemen pertama suatu negara disebut negara hukum berarti adanya pembatasan
kekuasaan yang berlandaskan hukum. Dengan demikian berarti terdapatnya asas
legalitas dari negara hukum. Pelangaran terhadap hak – hak individu hanya dapat
dilakukan, apabila diperkenankan oleh peraturan peraturan hukum. Tiap tindakan
negara harus selalu berdasarkan hukum peraturan perundang – undangan yang
telah ada terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.
Hak hak individu terhadap negara sebagai mana tercermin keseluruhan
dalam hak – hak asasi manusia yang telah diumumkan secara resmi dalam
pernyataan sedunia tentang hak hak asasi manuasia tanggal 10 desember 1948 di
istana Chailot, Paris, merupakan gambaran cerah terselengaranya jaminan
perlindungan bagi hak – hak warga negara yang diakui negara. (Naning, 1983)
Hak tersebut berarti : hak yang melekat pada martabat manusia yang
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa. Atau hak – hak
dasar yang prinsip sebagai anugrah ilahi. Berarti hak asasi manusia merupakan
hak – hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan
dari hakekatnya. Karena itu hak – hak asasi manusia bersifat luhur dan suci.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih buruk dalam upaya penegakkan HAM-nya. Perlindungan HAM di Indonesia harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. (Wirajuda, 2005)
 Hal ini sesuai dengan isi Piagam PBB yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan 56 yang berisi bahwa upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu konsep kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku.
Sesuai dengan amanat konstitusi, Hak Asasi Manusia di Indonesia didasarkan pada Konstitusi NKRI, (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”) yaitu:
1.      Pembukaan UUD 1945 (alinea 1)
2.      Pancasila sila keempat
3.      Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 27, 29, dan 30)
4.      UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Hak asasi di Indonesia menjamin hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Program penegakan hukum dan HAM (PP Nomor 7 Tahun 2005), meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme, dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif, dan konsisten.
Kegiatan-kegiatan pokok penegakan HAM (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”) meliputi:
1.         Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pembeantasan Korupsi Tahun 2004-2009.
2.         Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari tahun 2004-2009 sebagai gerakan nasional.
3.         Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana
terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
4.         Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi.
5.         Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
6.         Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga negara di depan hukum melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan konsekuen.
7.         Penyelenggaraan audit regular atas seluruh kekayaan pejabat pemerintah dan pejabat negara.
8.         Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan proses hukum yang lebih sederhana, cepat, tepat, dan dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
9.         Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika masyarakat dapat berjalan sewajarnya.
10.     Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik, pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel.
11.     Pengembangan sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
12.     Penyelamatan barang bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip lembaga negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hokum dan HAM.
13.     Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas penegakan hukum dan HAM
14.     Pembaharuan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
15.     Peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan
perjalanan baik ke luar maupun masuk ke wilayah Indonesia.
16.     Peningkatan fungsi intelijen agar aktivitas terorisme dapat dicegah pada tahap yang sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan dan ketertiban.
17.     Peningkatan penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya melalui identifikasi dan memutus jaringan peredarannya, meningkatkan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta menghukum para pengedarnya secara maksimal.

Penegakan HAM dilakukan terhadap setiap pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang.  Untuk mengatasi masalah penegakan HAM, maka dalam Bab VII Pasal 75 UU tentang HAM, negara membentuk Komisi Hak Asasi Manusia atau KOMNAS HAM, dan Bab IX Pasal 104 tentang Pengadilan HAM, serta peran serta masyarakat seperti dikemukakan dalam Bab XIII pasal 100-103.
1)         Komnas HAM
Komnas HAM adalah lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

·           Tujuan Komnas HAM (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”) antara lain:
1.         Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2.         Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan
·           Wewenang Komnas HAM (Pasaribu, “Bab 4 Hak Asasi Manusia”):
1.         Wewenang dalam bidang pengkajian penelitian
Ø Pengkajian dan penelitian berbagai instrument internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi
Ø Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
Ø Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian
Ø Studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia
Ø Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia
Ø Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2.         Wewenang dalam bidang penyuluhan (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia, 2015):
Ø  Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakatIndonesia;
Ø  Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya;
Ø  Kerja sama dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3.         Wewenang dalam pemantauan (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia, 2015):
Ø  Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut
Ø  Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya
Ø  Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan
Ø  Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
Ø  Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan
Ø  Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan
Ø  Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik; dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudan pendapat
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4.         Wewenang dalam bidang mediasi (Pasaribu, Bab 4 Hak Asasi Manusia, 2015) :
Ø  Perdamaian kedua belah pihak
Ø  Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli
Ø  Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan
Ø  Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya
Ø  Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

2)      Pengadilan HAM
Dalam rangka penegakan HAM, maka Komnas HAM melakukan pemanggilan saksi, dan pihak kejaksaan yang melakukan penuntutan di pengadilan HAM. Menurut Pasal 104 UU HAM, untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Proses pengadilan berjalan sesuai fungsi badan peradilan.
3)      Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM diatur dalam Pasal 100-103 UU tentang HAM. Partisipasi masyarakat dapat berbentuk sebagai berikut:
1.         Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisispasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
2.         Masyarakat juga berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
3.         Masyarakat berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain.
4.         Masyarakat dapat bekerja sama dengan Komnas HAM melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.



PENUTUP
Terdapat dua makna besar yang dapat dipahami.  bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, Makna pertama adalah bahwa pemindahan ketentuan mengenai negara hukum ke dalam bagian “Pasal-Pasal” menunjukkan adanya upaya penegasan terhadap konsep negara hukum bagi Indonesia. Kedua, pemindahan dimaksud juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menegaskan kembali bahwa bangsa Indonesia secara sungguh-sungguh akan melandaskan seluruh aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara pada ketentuan hukum yang ada.
Indonesia Legal Rountable menjelaskan, bahwa setidaknya terdapat lima prinsip dan indikator negara hokum, diantaranya: pemerintahan berdasarkan hukum, independensi kekuasaan kehakiman, penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia,  akses terhadap keadilan, dengan indikator peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan,  dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Adanya keterkaitan yang jelas antara negara hukum dengan hak asasi manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Prof Paul Scholten,  elemen pertama suatu negara disebut negara hukum berarti adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum.
Penegakan HAM dilakukan terhadap setiap pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang.



Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ayu. (2016, Oktober 14). HAM dan Negara Hukum. Retrieved from http://ayu.b15on.com/ham/
Farid, M. (2010). Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Hardiman, F. B. (2011). Hak-Hak Asasi Manusia (Polemik dengan Agama dan Kebudayaan). Yogyakarta: Kanisius.
INDONESIA, K. P. (2012). RENCANA PEMBELAJARAN DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Jakarta.
Jimly Assihiddiqie, I. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI.
Kusniati, R. (2011). Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum.
Maladi, Y. (2010). “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”. In V. 2. Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.
Naning, R. (1983). Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.
Nasution, B. J. (2013). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Nasution, B. J. (n.d.). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Op.cit.
Pasaribu, R. B. (n.d.). “Bab 4 Hak Asasi Manusia”. hlm 7-15.
Pasaribu, R. B. (2015). Bab 4 Hak Asasi Manusia. 7-11.
Prasetyo, K. F. (2012). “Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State di dalam Undang-Undang Dasar 1945”. In V. 9. Jurnal Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S. (n.d.). GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA. 1-2.
Purnomo, B. G. (2013, Mei 27). PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIA. Retrieved September 24, 2016, from Purnama.blog: http://purnama-bgp.blogspot.co.id
Rhona K.M. Smith, d. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusham UII.
Rountable, I. L. (2013). Indonesia Legal Rountable. Jakarta: Indonesia Legal Rountable .
Sabu, H. S. (2015, Mei 20). HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Retrieved September 24, 2016, from HenSabu: http://henssabu.blogspot.co.id
Simamora, J. (2014). TAFSIR MAKNA NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum, 10.
Suseno, F. M. (1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, F. M. (1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno. (2007). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta.: Bumi Aksara.
Wirajuda, H. (2005). Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Vol. 34, No. 3.
Asshiddiqie, J. (2010). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja  Grafindo Persada.
Ayu. (2016, Oktober 14). HAM dan Negara Hukum. Retrieved from http://ayu.b15on.com/ham/
Farid, M. (2010). Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Hardiman, F. B. (2011). Hak-Hak Asasi Manusia (Polemik dengan Agama dan Kebudayaan). Yogyakarta: Kanisius.
INDONESIA, K. P. (2012). RENCANA PEMBELAJARAN DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Jakarta.
Jimly Assihiddiqie, I. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI.
Kusniati, R. (2011). Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum.
Maladi, Y. (2010). “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”. In V. 2. Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM.
Naning, R. (1983). Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.
Nasution, B. J. (2013). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.
Nasution, B. J. (n.d.). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Op.cit.
Pasaribu, R. B. (n.d.). “Bab 4 Hak Asasi Manusia”. hlm 7-15.
Pasaribu, R. B. (2015). Bab 4 Hak Asasi Manusia. 7-11.
Prasetyo, K. F. (2012). “Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State di dalam Undang-Undang Dasar 1945”. In V. 9. Jurnal Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S. (n.d.). GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA. 1-2.
Purnomo, B. G. (2013, Mei 27). PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIA. Retrieved September 24, 2016, from Purnama.blog: http://purnama-bgp.blogspot.co.id
Rhona K.M. Smith, d. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusham UII.
Rountable, I. L. (2013). Indonesia Legal Rountable. Jakarta: Indonesia Legal Rountable .
Sabu, H. S. (2015, Mei 20). HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Retrieved September 24, 2016, from HenSabu: http://henssabu.blogspot.co.id
Simamora, J. (2014). TAFSIR MAKNA NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum, 10.
Suseno, F. M. (1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, F. M. (1999). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno. (2007). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta.: Bumi Aksara.
Wirajuda, H. (2005). Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Vol. 34, No. 3.




TANYA JAWAB

KLP 1
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dari pernyataan diatas konsep seperti apa yang melatarbelakangi kalimat yang dalam tamda kutip?
Jawab: Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hukum Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.

KLP 2
Apa saja yang dilakukan oleh lembaga penegak HAM dalam menegakkan HAM?
Jawab: Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga penegak HAM, diantanranya:
18.    Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pembeantasan Korupsi Tahun 2004-2009.
19.    Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari tahun 2004-2009 sebagai gerakan nasional.
20.    Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
21.    Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi.
22.    Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
23.    Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga negara di depan hukum melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan konsekuen.
24.    Penyelenggaraan audit regular atas seluruh kekayaan pejabat pemerintah dan pejabat negara.

KLP 3
Mengapa NKRI Tahun 1945 dapat dimaknai sebagai negara hukum Pancasila?
Jawab: Karena negara hukum yang pelaksanaannya mendasarkan pada upaya pemenuhan seluruh ketentuan yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pancasila dan memiliki unsur-unsur utama sebagai berikut. Pertama, negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, pemerintahan yang didasarkan pada hukum; ketiga, penguatan prinsip demokrasi dalam memilih para pemimpin; keempat, adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan dengan mengedepankan prinsip checks and balances; kelima, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law); keenam, diakuinya kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ketujuh, adanya peradilan tata negara dan peradilan tata usaha negara; dan kedelapan, adanya pengakuan dan perlindngan terhadap hak-hak dasar atau hak asasi manusia; serta kesembilan, adanya upaya untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfarestate).

KLP 4
Mengapa Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum? Apa yang melatarbekangi negara tersebut?
Jawab : Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum”. Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia (Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan) sejak hampir satu abad yang lalu. Cita – cita negara hukum yang demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis dan bisa menyesatkan

KLP 5
Substansi utama hak asasi manusia adalah kebebasan dan hak atas privasi. Maksud kebebasan dan hak privasi itu seperti apa?
Jawab : Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang untuk menentukan pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia, terletak dalam kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata bebas atau kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.
Hal ini didasarkan bahwa keinginan manusia untuk hidup bebas, merupakan keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut kodratnya sama-sam bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya. 11
Berdasarkan “kebebasan” inilah yang menjadi dasar pemaknaan HAM. Menurut sejarah politik Barat, semua deklarasi HAM mencantumkan subjek hokum (rechtsubject) yang sangat umum, yaitu “manusia”, “setiap manusia”, “tak seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas dari perbedaan-perbedaan internal dari manusia-manusia yang konkret misalnya ditentukan oleh agama, bahasa, jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang merupakan pencerminan dari pengertian HAM secara universal yang mana manusia itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar yang sama, karenanya juga memiliki hak-hak yang sama.

KLP 7
Pada  masa sebelum Amandemen UUD Tahun 1945, pengaturan tentang HAM didalam konstitusi sangatlah terbatas, bahkan yang mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat. alasan nya seperti apa?
Jawab : setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde baru. Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3), dan (4), pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), dan pasal 28 J ayat (1) dan (2).
Pengaturan pada BAB XA tentang HAM merupakan pencerminan dari HAM bukan Hak Konstitusional Negara, sebab subjek hukumnya adalah “setiap orang” artinya bukan hanya warga negara yang mendapatkan hak konstitusionalmelainkan setiap orang tanpa ada pembatasan 



PENILAIAN KELOMPOK
Mata Kuliah                            : Pendidikan Kewarganegaraan
Capaian Akhir Mata Kuliah    :.................................
Capaian yang diharapkan       :......................................................................
Kelompok: VI /Kelas. B/Jur. Fisika/Semester VII (tujuh.)/Th. Akademik 2016/2017
No
NIM
Nama Mahasiaswa
Faraf
1
1137030045
M. Yusuf S. N

2
1137030050
Nenden Tiara S

3
1137030065
Siti Nina Haryani

4
1147030003
Ahmad Zufi H

5
1147030018
Fakhrizal Muttaqien


PENILAIAN
1.       Makalah

No
Aspek Penilaian
Skala Penilaian

1
2
3
4

1
Perumusan masalah





2
Pembahasan masalah





3
Kajian teori





4
Pemecahan masalah





5
Sistematika pembahasan





Jumlah Total

Keterangan :
1 =  Sangat tepat
2 =  Tepat
3 =  Kurang tepat
4 =  Tidak tepat


N2 = Total nilai x 10
5


2.       Presentasi dan Dikusi                                        Hari/Tgl. …………/……………..

No
Aspek Penilaian
Skala Penilaian

1
2
3
4

1
Penyampaian ide pokok makalah





2
Penguasaan materi





3
Penggunaan media





4
Menjawab pertanyaan





5
Kerja sama kelompok





Jumlah Total

Keterangan :
1  = Sangat baik
2  = Baik
3   = Kurang baik
4  = Tidak baik

N3 = Total nilai x 10
     5



Bandung, ………………...
Dosen,


Dr. H. A. Rusdiana, MM
NIP. 196104211986021001